Acara dakwah di TV dibuat dengan
acuan untuk meraup penonton. Yang dipentingkan capaian rating/share.
Belum ada yang mementingkan isi. Rambu-rambu pengisi acara dakwah pun
tidak lepas dari pakem ini: lucu, menarik perhatian, meruntuhkan emosi,
dan menghibur (bukan hanya lucu, tetapi juga memberi impian, harapan,
dan menyenangkan).
Seorang anggota milist pengusahamuslim menulis
begini: bisnis dan dakwah seperti minyak dan air. Maksudnya, seperti
sifat air dan minyak, tidak akan pernah bersatu. Benarkah dakwah dan
bisnis tidak bisa bersatu?
Pada Ramadhan lalu (2011, red), acara-acara dakwah
marak di televisi. Semua stasiun TV punya program berlabel dakwah.
Acaranya beragam. Secara umum, ada tiga tipe acara dakwah di TV. Antara
lain ceramah. Tipe ini mengandalkan kemampuan para ustad menyampaikan
tausiah di depan jamaah. Acara ini biasa menghadirkan ustad jenaka,
pandai berbicara di depan jamaah, meski dari segi keilmuan mungkin
biasa-biasa saja. Kita mengenal Ustad Maulana, Ustad Jefrie Albukhori,
Ustad Hasbi Albughori dan beberapa nama lain. Ada yang mengandalkan
kelucuan, kemampuan berzikir bersama jamaah, dan bahkan ada yang
mengandalkan mengajak sedekah.
USTAD DAN BRAND
Para juru
dakwah di TV secara sengaja mendesain dirinya sebagai produk bisnis.
Mereka bekerja dengan teamwork lengkap. Ada orang yang bertugas mengurus
marketing. Ada yang bekerja mengurus kostum, dan juga publikasi di
jejaring sosial. Sebagai sebuah “merek dagang”, tim juru dakwah
mengembangkan brand yang beragam.
Yang pertama melakukannya adalah
KH Abdullah Gymanstiar atau sering menyebut dirinya Aa Gym. Beliau
mengusung brand Manajemen Qolbu (MQ). Karena isinya memang seputar
menjaga hati, ustad ini hampir tidak pernah mengutip hadis atau ayat
Al-Quran dalam ceramanya. Yang penting hatinya baik. Dan, orang-orang
pun terpukau. Acara tausiah di TV ditunggu-tunggu orang (dulu), hingga
nama MQ menjadi brand sangat laris. Mulai dari minuman, TV, hingga
travel. Seiring berjalannya waktu, MQ sepi, ditinggal penggemarnya
setelah Aa Gym ditimpa berita poligami, dan kemudian perceraian dengan
Teh Nini.
Meski sama-sama poligami, kasus Ustad Arifin Ilham tidak
seheboh Aa Gym. Brandnya adalah zikir bersama. Dengan baju putih-putih,
Arifin Ilham mengajak jamaah untuk ikut “nangis berjamaah” juga. Meski
orasinya datar-datar saja, Arifin bisa membuat penonton terpaku, karena
ajakan zikirnya.
Contoh lain yang tak kalah menarik adalah Ustad
Yusuf Mansyur. Dengan brand “sedekah”, dia terus-menerus menyampaikan
kampanye agar orang-orang bersedekah. Pendeknya, sedekah dijadikan
magnit orang untuk mengeluarkan infak, sedekah dan zakat. Sedekah
dianggap “pintu” untuk menyelesaikan persoalan dunia. Seret rezeki,
karir mampet, jodoh tak datang, sampai sulit mendapatkan keturunan, pun
bisa diatasi dengan memperbanyak sedekah.
Sadar dengan jamaahnya
sudah banyak, Yusud Mansyur menyiapkan tempat menampung sedekah mereka.
Didirikanlah lembaga zakat, lembaga pendidikan, dan bisnis-bisnis lain
yang yang inline dengan sedekah. Rutin tampil di TV dan rajin
mengiklankan diri dimedia cetak, ikut membuat omset lembaga yang
dipimpin Yusuf Mansyur mencapai miliaran rupiah. Dan, ini tidak ada
risiko rugi, dan bebas pajak.
Dalam bentuk lain, Ary Ginanjar
dengan sukses membangun brand ESQ 165. Bahkan, sampai memiliki kantor
bertingkat. Ary Ginanjar sebenarnya tidak memulai pencitraan diri dari
seorang ustad. Lebih sebagai motivator. Hanya saja, materi motivasi yang
diambil dengan pendekatan islami, menjadikan dirinya juga dipanggil
ustad. Ary memberi dorongan kepada “jamaah” dengan menyentuh nurani.
ESQ
sebenarnya lembaga training sumberdaya manusia. Baru belakangan
merambah dakwah, tetapi dengan materi yang hampir sama dengan pelatihan.
Menurut pengelolanya, ESQ bertujuan membentuk karakter melalui
penggabungan tiga potensi manusia: kecerdasan intelektual, emosional,
dan spiritual. Selama ini, menurut Ary, ketiga potensi tersebut terpisah
dan tidak didayagunakan secara optimum untuk membangun sumberdaya
manusia. Akibatnya, terjadi krisis moral dan split personality yang
berdampak pada turunnya kinerja. Lebih buruk lagi, mereka menjadi
manusia yang kehilangan makna hidup serta jati dirinya.
“Training
ESQ adalah solusi untuk menjawab permasalahan tersebut dengan
menggunakan metode spiritual engineering yang komprehensif serta
berkelanjutan. Melalui training ESQ, ketiga potensi manusia digabungkan
dan dibangkitkan sehingga terbentuk karakter yang tangguh, peningkatan
produktivitas sekaligus melahirkan kehidupan yang bahagia dan penuh
makna,” tulis Ary Ginanjar dalam blognya.
Masih banyak ustad yang
mencoba mengembangkan brand atau minimal memiliki ciri khas sebagai
marketing identity. Ustad Jefri Albukhori (alm) atau Uje, memposisikan
diri sebagai ustad gaul. Mulai dari pakaian dan kacamata, tampil trendi.
Dia juga tak segan untuk bernyanyi, dan tampil di konser. Lengkingan
suaranya saat membaca Al-Quran seperti ingin diteruskan di bidang tarik
suara.
Yang mencoba mengikuti jejak Uje adalah Ustad Soleh
Mohammad (Solmed). Dia tampil trendi, bergaya artis, sering tampil di
infotainment. Hanya saja, Solmed belum memiliki tampilan khas, kecuali
lebih sering tampil di sinetron. Solmed juga pandai menghibur massa.
Meski tidak seenerjik Uje saat di panggung, tapi pakaian dan tampangnya
sudah bisa membuat ibu-ibu kesengsem.
Lain pula dengan Ustad
Maulana. Ia tidak ubahnya pelawak. Dia tampil dengan syal, dan tagline
“jamaah, oh jamaah”. Maulana juga pandai merangkai kata dengan ekspresi
yang lucu. Jujur, ekspresif, dan cara penyampaiannya lebih menyerupai
pemain watak. Di awal, penonton diajak tertawa-tawa. Pada bagian akhir
jammah diajak menangis.
Dari kalangan ustadah ada Mama Dedeh yang
sempat sangat popular saat masih di Indosiar. Belakangan di ANTV,
sinarnya tidak seheboh dulu. Masih kalah dengan yang tayang ulang di
Indosiar. Mamah Dedeh disukai penonton karena yang dibahas persoalan
sehari-hari ibu-ibu. Semua pertanyaan dia jawab dengan enteng, bahkan
bikin terpingkal yang menyaksikan.
Nah, dari sekian artis, eh
ustad, mereka memiliki kemiripan. Mereka mencoba tampil dengan ciri
khas. Baik segi penampilan ataupun materi yang disampaikan. Mereka juga
didukung tim managemen lengkap. Mereka tak segan mengajukan rate,
tawar-menawar harga, dan tidak ragu untuk menolak job bila tidak sesuai
dengan tarif. Asal tahu saja, ada seorang ustad yang mematok Rp 22 juta
untuk sekali acara pengajian off air. Ustad lain yang lebih senior
sampai Rp 40 juta sekali tampil. Ini belum termasuk tiket pesawat, hotel
untuk minimal tiga orang bila harus ke luar kota. Honor di TV? Tidak
terlalu besar dibandingkan dengan offair. TV hanya dijadikan media untuk
marketing, sedangkan “keuntungan” yang sebenarnya dipetik dari mimbar
ke mimbar.
Persamaan lain, mereka bisa “menghipnotis” orang untuk
tidak pindah perhatian. Jika tidak mahir dalam orasi, dia pandai
melawak, atau pandai membuat orang menangis. Dan, yang penting selalu
memberi harapan dan hiburan.
ANGKA SUKSES PROGRAM TV
Acara
dakwah di televisi selama ini dibuat dengan acuan bagaimana
sebanyak-banyaknya meraup penonton. Yang dipentingkan baru pada capaian
rating/share. Belum ada yang mementingkan isi. Maka, rambu-rambu pengisi
acara dakwah pun tidak lepas dari pakem ini: lucu, menarik perhatian,
meruntuhkan emosi, dan menghibur. Menghibur tidak dalam artian lucu
semata, tetapi lebih luas: memberi impian, harapan, dan juga
menyenangkan (dilihat, dikhayalkan).
Jika kita berharap akan
mendapatkan ilmu agama dari media televisi, tampaknya masih jauh. Trans7
punya pengalaman dengan membuat program agama yang serius dengan
sisipan ilmu yang lumayan, justru kurang diminati penonton. Misalnya
program Rahasia Sunnah (kemudian menjadi Tabir Sunnah) dan Jalan Dakwah.
Yang sukses program perlanan Musafir dan Jazirah Islam yang tayang
setiap bulan Ramadhan. Belakangan ikut menyusul program Khalifah,
Kharimah dan Khasanah.
Program-program yang “sukses” di industry
TV, bila share bisa mencapai di atas 15%. Maknanya, 15% penonton
menyaksikan acara tersebut pada jam yang sama. Nah, para creator program
TV, termasuk program dakwah, juga ikut terbebani dengan target
tersebut. Akibatnya, ya itu tadi, sulit kita mendapatkan program yang
sarat dengan ilmu bisa tampil di TV.
Satu lagi, semua orang yang
akan tampil di TV harus lolos proses casting. Apa yang dinilai? Wajah,
penampilan, gaya orasi. Baru yang terakhir ilmunya. Jadi, title ustad
bisa disematkan belakangan. Bahkan ada seorang kawan yang mengaku dia
menyodorkan kontrak kerja dengan seseorang sebagai “pemeran ustad” untuk
mengisi program dakwah. Celakanya, acara itu sangat sukses. Akibatnya,
pemeran ustad tersebut sekarang sangat terkenal. Laris manis mengisi
ceramah. Padahal dia sama sekali tak memiliki kapasitas ilmu agama yang
sahih. Jadi, jangan sekali-kali berharap ada TV yang berani membuat
program yang mengedepankan ilmu. Acara dakwah di TV lebih mementingkan
kemasan, show. Inilah jahatnya industri TV di Tanah Air.
Ditambah
lagi, para ustad yang memiliki keilmuan mumpuni tidak mau atau tidak
bersedia tampil di TV umum. Tidak mau ada iklan, dan beberapa syarat
lain. Ini yang memberatkan jalan berdakwah di TV. Dan, yang rugi umat
Islam. Karena umat menjadi jauh dari ilmu agama yang syar’i, yang sesuai
dengan pemahaman para sahabat.
Oleh Bpk. Pracoyo Wiryoutomo (Praktisi Televisi di Trans 7)
Sumber: Majalah Cetak Pengusaha Muslim Edisi 31
Dukung kami dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.
- SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
- DONASI hubungi: 087 882 888 727
- Donasi
dapat disalurkan ke rekening: 8610185593 (BCA) / 7051601496 (Syariah
Mandiri) / 1370006372474 (Mandiri). a.n. Hendri Syahrial